Sesungguhnya Surgaku Ada di Hatiku!
- Di dalam Majalah Cahaya Nabawiy Edisi 98 Dzulqa`dah/September ini ada
sebuah artikel menarik tentang
”bencana alkohol”.
Pada paragraph
terakhir tulisan itu ada satu kisah menarik tentang dua orang yang
sama-sama sedang mengalami kesakitan di sebuah rumah sakit.
Kedua pasien baru saja menjalani operasi. Meski sama-sama dirawat, ada dua hal yang membedakan kedua pasien tersebut.
Bedanya pasien pertama
berteriak-teriak histeris tidak karuan, mengeluarkan kata-kata umpatan,
caci-maki sampai kedua tangan dan kakinya harus diikat.
Sementara pasien kedua, ia juga
mengalami rasa sakit yang hampir sama.
Ia juga berteriak-teriak dengan
suara nyaring namun isi teriakannya adalah adzan.
Dokter yang menulis
kisah ini terheran-heran dengan dua perilaku kedua pasien yang sedang ia
tangani.
Satunya teriak kotor dan satunya lagi mengagungkan kebesaran
Allah SWT.
Karena penasaran, sang dokter
akhirnya bertanya kepada pihak keluarga. Jawabannya, pasien yang teriak
adzan adalah seorang juru azan (bilal) di mushalla yang ada di dekat
rumahnya, di mana ia saban waktu mengumandangkan shalat dan mengajak
masyarakat sekitar untuk datang ke mushalla untuk shalat berjama`ah.
Adapun pasien satunya, dilihat
dari rekam medisnya ternyata ia seorang peminum minuman keras yang
mengalami kecelakaan usai menenggak minuman yang memabukkan.
Pengalaman sang dokter seperti
kisah di atas saya kaitkan dengan kisah lainnya sebagaimana ditulis oleh
Alwi Alatas dalam bukunya yang berjudul
“Whatever Your Problem, Smile"
(Apapun Masalahmu, Tersenyumlah).
Dalam buku ini, Alwi
mengemukakan sebuah penelitian yang dilakukan olen seorang ahli tentang
“Kaitan Relijiusitas dan Keimanan Seseorang dengan Rasa Sakit.”
Penelitian dilakukan kepada
orang yang taat beragama, biasa pergi ke tempat ibadah, dan dekat dengan
Tuhannya, adapun objek penelitian selanjutnya dikenakan pada orang yang
tidak taat beragama, bahkan tidak sedikit yang tidak percaya Tuhan
alias atheis.
Bagaimana cara melakukan penelitian?
Peneliti memasang alat di kepala
mereka yang taat beragama dan yang tidak taat saat mengalami rasa
sakit. Kemudian, mereka diberi aliran listrik untuk menimbukan efek
sakit. Akibatnya, mereka sama-sama merasakan rasa sakit dari aliran
listrik. Lalu, mereka dikondisikan dengan foto-foto tokoh yang mereka
idolakan selama ini.
Orang-orang yang relijius diberi
foto bergambar tokoh relijius, dan orang yang tidak relijius diberi
foto tokoh yang mereka kagumi.
Ternyata, meski keduanya
menunjukkan aktivitas menahan rasa sakit yang sangat, namun keadaannya
jauh berbeda. Tingkat rasa sakit orang-orang yang tak relijius dan
atheis tetap dalam volume tinggi. Sementara, rasa sakit yang dialami
oleh orang-orang yang relijius menurun.
Kata Alwi, penulis buku ini, rasa sakit dapat tetap tinggi atau menurun tergantung dengan kuat tidaknya iman seseorang.
“Keyakinan dapat mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh seseorang,” tulisnya.
Dua kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita.
Pertama, membiasakan hal-hal
yang baik membuat kita terbiasa dalam situasi kebaikan pula. Dalam
pepatah arab pernah kita dengar, “Man Syabba a`la Sya`in Saabba a`laihi
(barangsiapa terbiasa melakukan sesuatu sejak dini, akan terbawa hingga
dewasa).”
Kebiasaan memang belum belum tentu baik namun kebaikan, itu perlu kita biasakan.
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap manusia akan mati lalu
dibangkitkan sesuai keadaan semasa ia hidup.” Ketika kebiasaan baik kita
lakoni saban hari, maka kesempatan untuk meraih husnul khatimah terbuka
lebar bagi kita. Sebaliknya, kala keburukan yang kita budayakan, maka
lawan khusnul khatimah yang akan kita raih.
Kedua, selayaknya kita menempatkan tokoh-tokoh yang mempunyai integritas pada hati kita.
Seyogianya kita berhati-hati sebelum mendudukkan seseorang sebagai idola dan pujaan hati.
Penelitian dalam kisah tersebut
sedikit memberi bukti bahwa pengidolaan yang salah membuat diri menjadi
tersiksa secara lahir, belum lagi hati kita yang tidak nyaman di kala
musibah datang.
Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda, “Seseorang itu akan dibangkitkan bersama orang yang ia cintai.”
Ketika kita menumpahkan cinta
pada sosok yang tidak kenal Allah, tidak bersembah sujud, memuji,
bertasbih kepada-Nya, malah mendurhakai-Nya, maka siap-siaplah kita
kelak dibangkitkan setelah mati bersama mereka.
Banyak sosok dengan kepribadian mengagumkan yang bisa kita idolakan.
Sederet tokoh terdahulu maupun
sekarang, bisa kita jadikan sebagai teladan. Dan dari semua sosok
tersebut, yang paling unggul dalam ketakwaan, kebaiakan, kedermawanan,
kelembutan, adalah Nabi Muhammad SAW.
Dengan mengidolakan beliau, segala kehidupan akan menjadi mudah belaka.
Mengapa? Karena kita mencontoh
pribadi yang telah tahan banting mengarungi kehidupan dunia yang penuh
cobaan dan masalah. Beliau sigap mengemas kesulitan menjadi kemudahan.
Dengan meniru dan mengidolakan beliau, dengan sendirinya kita akan
berusaha meneladani jejak langkahnya dalam suka maupun duka.
Ketiga, pentingnya kedudukan
iman dan yakin. Yakin adalah gambaran tentang kekuatan dan kekokohan
iman, yang tidak mudah diombang-ambing oleh keraguan, dan gundah gulana.
Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad
dalam bukunya Risalatul Mu`awanah menyebut ada tiga perkara yang
menjadi sebab keyakinan kita menjadi kuat dan kokoh.
“Pertama, menjadikan hati dan
telinga untuk aktif menyimak ayat-ayat Allah yang berisi petunjuk
keagungan-Nya, kesempurnaan-Nya, dan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas.
Kedua, selalu melihat dan merenungi ciptaan Allah yang terbentang di
hadapan seorang hamba. Mengamati bagaimana indah dan uniknya ciptaan
Allah. Ketiga, beramal kebaiakan, secara lahir maupun batin, dengan
penuh kesungguhan dan keseriusan.”
Dengan keyakinan yang kuat, kita
tidak mudah berputus asa saat kesulitan datang menerpa. Justru
kesulitan dapat kita jadikan sebagai kesempatan mencari karunia Ilahi
seluas-luasnya.
Dengan keyakinan yang mantap
pula, Ibnu Taimiyah berkata ketika ia dijebloskan ke penjara oleh rezim
yang hidup di masanya, “Apa yang dapat dilakukan oleh musuhku!
Sesungguhnya surgaku ada di hatiku. Ke manapun aku pergi dia selalu
bersamaku. Apabila aku dipenjara maka itu adalah khalwatku
(berduan-duaan) dengan Allah, apabila aku dibunuh maka syahadah
(kesyahidan) bagiku, dan apabila aku diusir maka itu merupakan syiyahah
(perjalanan di jalan Allah).”
Sekian postingan saya kali ini tentang Sesungguhnya Surgaku Ada di Hatiku!, semoga bermanfaat untuk pembaca semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar jika ada yang ingin di tanyakan 😊